Minggu, 11 Maret 2012

Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia.  Bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, alat untuk berinteraksi, alat untuk menampung hasil kebudayaan, semuanya dapat diterima.
Linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya mendekati bahasa bukan sebagai sesuatu yang lain, melainkan bahasa dipandang sebagai bahasa. Oleh karena itu, linguistik lazim mengartikan bahasa sebagai sebuah system lambing bunyi yang arbitrer. Sebagai sebuah sistem lambing, maka bahasa itu sama dengan lambing lain, yang bersifat arbitrer, dalam kehidupan manusia ; tetapi sekaligus bersifat konvensional.
Bahasa yang menjadi objek kajian linguistik harus dibedakan dari berbahasa, yakni kegiatan manusia dalam memproduksi dan meresepsi bahasa itu,  yang dimulai dari encode semantik dalam otak pembicara dan berujung pada decode semantik dalam otak pendengar.Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu.
 Pembelajaran  bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara mekanistik, tetapi  juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak), Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa,  studi linguistic perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistic dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik.
Bahasan mengenai pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain. Manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia memahami aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil. Pertanyaan mengapa pemerolehan bahasa pada umur dewasa memunculkan wujud bahasa yang berbeda daripada pemerolehan sejak anak masih kecil berkaitan erat dengan struktur serta organisasi otak manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Pemerolehan Bahasa
            Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini prose situ dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni, belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran (tapi liat Krashen 1972).
            Chaer (2009:167) Pemerolehan bahasa atau akusisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak- kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses ketika seorang anak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansiyang terdiri dari dua buah proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi  kalimat- kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan kalimat-kalimat sendiri. Sehingga kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan kalimat- kalimat yang baru dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.
            Komponen-komponen yang berkaitan dengan tata bahasa adalah sintaksis, semantik, dan fonologi. Ketiga komponen tersebut tidak diperoleh secara bersaingan, yang satu terlepas dari yang lain, melainkan diperoleh secara bersamaan. Ada beberapa teori yang  berkaiatan dengan masalah pemerolehan bahasa, diantaranya adalah hipotesis nurani, hipotesis tabularasa, dan hipotesis kesemastaan kognitif.
Sejarah Kajian Pemerolehan Bahasa
            Ingram (1989) membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahap: periode buku harian, periode sampel besar, dan periode kajian longitudinal. Periode buku harian adalah dari tahun 1876 sampai tahun 1926. Pada masa ini kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan peneliti mencatat apa pun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasil-hasilnya. Tulisan H. Taine pada tahun 1876 yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul “On the Acquisition of Language by Children” adalah tulisan pertama mengenai pemerolehan bahasa anak.
            Periode sampel besar adalah dari tahun 1926 sampai tahun 1957. Periode ini berkaiatan dengan munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa yang bernama behaviorisme yang menekankan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan bahasa. Dengan pandangan yang behavioristik ini maka metode kuantitatif dianggap sebagai metode yang benar.
            Periode kajian longitudinal, menurut Ingram, dimulai dengan munculnya buku Chomsky Syntactic Structures (1957) yang merupakan titk awal dari tumbuhnya aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Aliran yang berlawanan dengan behaviorisme ini menandaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada waktu anak dilahirkan. Bekal kodrati inilah yang membuat anak di mana pun juga memakai strategi yang sama dalam memperoleh bahasanya.
            Ciri utama periode ini adalah bahwa studi longitudinal memerlukan jangka waktu yang panjang karena yang diteliti adalah perkembangan sesuatu yang sedang dikaji dari satu waktu sampai ke waktu yang lain.
1.         Hipotesis nurani
            Pemerolehan bahasa yang diperoleh oleh anak-anak adalah kompetensi dan performansi bahasa pertamanya, kemudian tata bahasa itu terdiri dari komponen sintaksis, semantik, dan fonologi. Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan oleh pakar terhadap pemerolehan anak-anak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Di antara hasil pengamatan itu adalah sebagai berikut.
a.         Semua anak-anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
b.         Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
c.         Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramtikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit.
d.         Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain; hanya manusia yang dapat berbahasa.
e.         Proses pemerolehan bahasa oleh anak-anak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa anak-anak.
f.          Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai anak-anak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
            Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu karena sulit untuk dibuktikan secara empiris, maka pandangan ini mengajukan satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (bahasa inggris innate= dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula jadi).
            Hipotesis nurani ini perlu dibedakan adanya dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (simanjuntak, 1977). Hipotesis nurani bahasa adalah satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagaian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur- fitur nurani khususnya dari organisme manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme merupakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman.
2.         Hipotesis tabularasa
            Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Lalu, hipotesis tabularasa menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini mula-mula dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empirisme yang sangat terkenal; kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson seorang tokoh terkemukan aliran behaviorisme dan psikologi.
            Berdasarkan hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia. Teori behaviourism menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk denan cara pembelajaran S- R (Stimulus- Respon). Cara pembelajaran S- R yang terkemukan adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori- teori pembelajaran bahasa.
3.         Hipotesis kesemastaan kognitif
            Kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif diperkenalkan oleh Piaget yang telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa anak-anak. Piaget hanya mengkaji tentang perkembangan kognitif umum, dan dalam mengkaji ini, Piaget telah mengeluarkan sebuah hipotesis mengenai kesemestaan kognitif termasuk bahasa.
            Berdasarkan pandangan Piaget mencoba merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut.
            Pertama, kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi.
            Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya selalu mempunyai hubungan dengan kanak-kanak itu, dan di dalam pola aksi itu selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita.
            Ketiga, setelah tahap kedua di atas munculah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek – Verbal – Objek
Atau
Agen + Aksi + Penderita
            Dari penjelasan di atas bisa dilihat hipotesis kesemestaan kognitif dan psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Perbedaan terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu berbeda yang saling mempengaruhi: hipotesis kesemestaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis nurani mekanisme oleh linguistik modern.
B.     Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
Proses Pemerolehan Bahasa
            Pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak dimanapun juga memperoleh bahasa ibunya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan (Dardjojowidjojo, 2005: 243). Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input disekitarnya.
            Waterson (1970) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah satu proses sosial sehingga kajiannya lebih tepat dilakukan di rumah dalam konteks sosial yang sebenarnya daripada pengkajian data-data eksperimen, lebih-lebih untuk mengetahui pemerolehan fonologi. Menurut Waterson (1976) pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantic dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.

a.      Pemerolehan Sintaksis
            Pemerolehan sintaksis dimulai ketika kanak-kanak mulai dapat menggabungkan dua buah kata atau lebih (lebih kurang ketika berusia 2:0 tahun). Namun Clark dan Garrman (1977) menyatakan bahwa tahap hulufrasis ini mungkin dapat memberikan beberapa gambaran bati mengenai perkembangan sintaksis. Para peneliti pemerolehan sintaksis tidak memulai kajian dari tahap hulufrasis, karena seperti kata Greenfild dan Smith (1976) ucapan-ucapan hulufrasis sukar ditafsirkan atau dipahami.
·         Teori Tata Bahasa Pivot
            Kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963), Bellugi (1964), Brown dan Fraser (1964), dan Miller dan Ervin (1964). Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata fungsi (function words), sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi (content words) atau kata penuh (full words) seperti kata-kata berkategori nomina dan verba. Cara menguraikan ucapan kanak-kanak pada tahap dua kata ini berdasarkan posisi dan frekuensinya adalah sebagai akibat dari apa yang disebut discovery procedure yang digunakan oleh linguistic deskriptif tahun 50-an. Discocery procedure bertujuan mencari keteraturan-keteraturan pada korpus data tanpa memperhatikan makna. Padahal dalam perkembangan psikolinguistik tahun 70-an penggolongan kata lebih menitikberatkan pada fungsi atau makna (Halliday, 1975; Bowerman, 1976; Clark, 1977). Oleh karena itu, rumus-rumus tata bahasa pivot menjadi agak kurang jelas bila diterapkan terhadap bahasa Indonesia. Tata bahasa pivot muncul muncul akibat discovery procedure, menyatakan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot. Namun, cara ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai (Greenfield dan Smith, 1976 : 6). Akhirnya bisa dikatakan bahwa ucapan dalam kalimat dua kata oleh kanak-kanak telah menunjukkan penggunaan bahasa yang lebih produktif dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis (Chaer, 2005:186).
·         Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani
            Tata bahasa generative dari Chomsky (1957, 1965) sangat terasa pengaruhnya dalam pengkajian perkembangan sintaksis kanak-kanak. Menurut Chomsky hubungan-hubungan tata bahasa tertentu seperti “subject-of, predicate-of, dan direct object-of” adalah bersifat universal dan dimilik oleh semua bahasa yang ada di dunia ini.
            Berdasarkan teori Chomsky tersebut, Mc. Neil (1970) menyatakan bahwa pengetahuan kanak-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal ini adalah bersifat “nurani”. Maka itu, akan langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis kanak-kanak sejak tahap awalnya. Jadi, pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-hubungan tata bahasa universal ini. Mc. Neil (1970) menyatakan bahwa besarnya struktur sintaksis juga menentukan urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak itu.
            Sejalan dengan teori hubungan-hubungan bahasa nurani ini, Menyuk (Simanjuntak, 1987) menyarankan satu teori pemerolehan sintaksis yang ditentukan oleh system linguistic generative transformasi yang telah menjadi sebagian pengetahuan kanak-kanak. Schlesinger (1974), menyatakan bahwa hubungan struktur (tata bahasa) yang terdapat pada ucapan-ucapan dua kata kanak-kanak itu mungkin sekali merupakan cermin dari konsep-konsep seperti perilaku dan tindakan (agent and action) dan bukan hubungan tata bahasa subject-of dan verb-of. Konsep-konsep seperti ini menurut Schlesinger merupakan bagian dari system kognitif kanak-kanak.
            Pakar lain, Bowerman (1976), menyatakan teori hubungan tata bahasa nurani yang dikemukakan Mc. Neil kurang mendapat dukungan. Menurut Bowerman kanak-kanak menggunakan rumus-rumus urutan sederhana untuk kata-kata yang dapat mengisi bermacam-macam fungsi semantic. Pandangan Bowerman adalah mengapa kanak-kanak hanya menggunakan beberapa jenis gabungan tertentu untuk menyampaikan hubungan-hubungan semantik itu.




b.      Pemerolehan Semantik
            Untuk dapat mengkaji pemerolehan semantic kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. ada beberapa teori mengenai makna atau semantic itu. menurut salah satu teori semantic yang baru, makna dapat dijelaskan berdasarkan apa yang disebut fitur-fitur atau penanda-penanda semantic. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantic ini (Larson, 1989). Namun, terdapat masalah yang sukar memisahkan garis antara sintaksis dan semantic. Demikian juga antara makna dengan yang disebut pengetahuan kognitif (Bolinger, 1965).
            Simanjuntak (1977, 1987) mengatakan bahwa komunikasi, pragmatic (konteks, makna, dan sintaksis terjadi bersama-sama. Keempat unsur itu merupakan salah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk menyampaikan pengetahuan perasaan, dan emosi dari seseorang kepada orang lain.
            Dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa teori mengenai pemerolehan semantic. Tiga di antaranya yaitu;
           Teori Hipotesis Fitur Semantik
            Menurut beberapa ahli psikolinguistik perkembangan, kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantic kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantic itu dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc. Neil, 1970, Clark, 1977).
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantic adalah:
1.         Fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
2.         Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia ini dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai makna leksikon.
3.         Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.

            Akhirnya Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantic ini ke dalam empat tahap yaitu berikut.
a.       Tahap Menyempitan Makna Kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 - 1:6).
b.      Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah hingga dua tahun setengah (1:6 – 2:6).
c.       Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun (2:6 – 5:0).
d.      Tahap Generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun.


·         Teori Hipotesis Hubungan – Hubungan Gramatikal
            Teori hipotesis hubungan–hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970). Menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam-yang nurani. Oleh Karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Perkembangan kosa kata kanak-kanak dilakukan secara horizontal atau secara vertical.
            Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantic untuk setiap hari butir leksikal ke dalam kamusnya. Secara vertical, artinya kanak-kanak secara serentak memasukkan semua fitur semantic sebuah kata ke dalam kamusnya. Secara vertical ini berarti fitur-fitur semantic kanak-kanak sama dengan orang dewasa. Simanjuntak (1987), hal ini tidak mungkin,. Yang lebih mungkin terjadi adalah secara horizontal.

·         Teori Hipotesis Generalisasi
Teori generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurut Anglin perkembangan semantic kanak-kanak mengikuti suatu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantic antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret samapai pada yang abstrak.

·         Teori Hipotesis Primitif-Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierwisch (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkatprimitif-primitif semantic universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantic dan fitur-fitur sematik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitive-primitif semantic ini dengan butir-butir leksikal.
Bierwisch (1970) mengatakan bahwa primitif-primitif semantic atau komponen-komponen semantic ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan manusia untuk menggolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu.
Menurut Bierwisch selanjutnya, bahwa dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu mempelajari komponen-komponen makna itu karena komponen makna itu telah tersedian sejak dia lahir. Yang dipelajari adalah hubungan-hubungan komponen ini dengan “milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya. Teori ini menghubungkan perkembangan semantic kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.

c.       Pemerolehan Fonologi
      Dalam masalah kaitan antara konsep universal dengan pemerolehan fonologi, ahli yang pandangannya sampai kini belum disanggah orang adalah Roman Jakobson. Dialah yang mengemukakan adanya universal pada bunyi bahasa manusia dan urutan pemerolehan bunyi-bunyi tersebut. Menurut dia, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vocal. Dalam hal vocal, hanya bunyi /a/, /i/, dan /u/ yang akan keluar duluan. Dari ketiga bunyi ini membentuk apa yang dia namakan Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System): bahasa manapun di dunia pasti memiliki minimal tiga vocal ini (Jakobson, 1971: 8-20).
a)      Teori Struktural Universal
Teori structural universal ini dikemukakan dn dikembangkan oleh Jakobson (1968). Pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistic, yakni hukum-hukum structural yang mengatur setiap perubahan bunyi. Jacobson menyimpulkan adanya dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa, dan tahap pemerolehan bahasa murni.
Beberapa bukti yang memperkuat teori Jacobson ini adalah sebagai berikut.
a. Bunyi likuida [l] dan [r] yang sering muncul pada tahap membabel, hilang pada tahap mengeluarkan bunyi bahasa yang sebenarnya.
b. Bayi-bayi yang pekak membabel dengan cara yang sama dengan yang normal.
c. Menurut penelitian Port dan Preston (1972), VOT (voice onset time = waktu pelepasan bunyi hambat dan bergetarnya pita suara) seperti konsonan [d] dan [t] tidak sama pada tahap membabel dengan VOT pada tahap mengeluarkan bunyi bahasa yang sebenarnya; dan VOT ketika berusia satu tahun (1:0) sama dengan VOT orang dewasa.

            Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat urutan peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf kemajuan tiap individu berbeda. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh hukum-hukum yang bersifat universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of irreversible solidarity” (1968 : 68).
            Urutan pemerolehan bunyi yang diramalkan Jakobson pada dasarnya sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh sejumlah pakar seperti Clark dan Clark (1977), Ervin – Tripp (1966), dan Foss dan Hakes (1978). Data yang dikumpulkan itu menunjukkan bahwa kanak-kanak terlebih dahulu dapat membunyikan [b], [p], [d], dan [t] daripada bunyi [f] dan [s]. Oleh karena itu, sering terjadi [f] ditukar dengan [p], seperti kanak-kanak mengucapkan kata [pis] untuk <fish>; atau bunyi [s] ditukar dengan [t] seperti kata <suit> yang diucapkan menjadi kata [tut].
Akhirnya menurut Jakobson, seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap kanak-kanak tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapan kanak-kanak. Yang menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-bunyi itu akan lebih dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak.

b)      Teori Generatif Struktural Universal
            Teori structural universal yang diperkenalkan oleh Jakobson diperluas oleh Moskowitz (1970, 1971) dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generative yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle (1968). Yang paling menonjol dari teori Moskowitz ini adalah “penemuan konsep” dan “pembentukan hipotesis” berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistic utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari.
Salah satu kesimpulan Moskowitz setelah mengkaji teori Jakobson dengan eksperimen adalah penolakannya terhadap pendapat bahwa pemerolehan tahap fonetik berlaku dengan cara-cara yang sama bagi semua kanak-kanak di dunia (Moskowitz, 1970).
Ada kesimpulan Moskowitz yang tidak sejalan dengan teori Chomsky yaitu mengenai konsep-konsep yang harus ditentukan oleh kanak-kanak untuk mengasimilasikan DLU lebih berkaitan dengan proses struktur nurani yang dihipotesiskan.
Moskowitz (Simanjuntak, 1987 : 221) menjelaskan bahwa sesudah kanak-kanak “menemukan” unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua, yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan satu “satuan bunyi”  di bawah kata ini.
Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebutnya idiom-idiom fonologi (phonological idioms). Menurut Perkembangannya idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif. Yang dimaksud dengan idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah menyamai bentuk orang dewasa itu berubah ke bentuk yang lebih primitive.

c)      Teori Proses Fonologi Alamiah
Teori ini diperkenalkan oleh David Stampe (1972, 1973), yakni satu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe proses fonologi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian (internalization) representasi fonemik orang dewasa.
Suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan, masalah yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan tiga cara berikut.
a.          Menindas salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu.
b.         Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses situ.
c.          Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara secara berurutan.
d)     Teori Prosodi-Akustik
Teori prosodi akustik ini diperkenalkan oleh Waterson (1976) sesudah dia merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi.
Pendekatan fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut, maka Waterson (1971) menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan prosodi, yang dianggapnya lebih berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis prosodi hanya melihat dari analisis artikulasi saja.
Waterson (1971) juga menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak hanya mengucapkan kembali bagian ucapan yang makan waktu lebih kurang 0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vocal dan konsonan yang mencapai artikulasi kuat.

e)      Teori Kontras dan Proses
Teori ini diperkenalkan oleh Ingram (1974, 1979), yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dari Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe; kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget. Menurut Ingram kanak-kanak memperoleh system fonologi orang dewasa dengan cara menciptakan strukturnya sendiri; dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus (menurut teori Piaget): mengubah struktur untuk menyelaraskan dengan kenyataan.

Pembelajaran Bahasa
                        Pembelajaran bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Untuk masalah yang dibicarakan ini ada pakar yang menyebut dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning) dan ada pula yang menyebut pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua. Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan dengan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara ilmiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan keluarga pengasuh kanak kanak itu. Bagi mereka yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa kedua dan seterusnya beranggapan bahwa bahasa kedua itu juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dan informal. Pemerolehan bahasa kedua secara informal ini bias saja terjadi, seperti di daerah pinggiran Jakarta di mana bahasa melayu betawi bertumpang tindih dengan bahasa sunda.
                        Pengunaan istilah bahasa ibu perlu dilakukan dengan hati-hati. Di kota besar Bahasa ibu seseorang bukanlah bahasa yang dikuasai si ibu sejak lahir. Banyak pasangan suami istri saat berduaan menggunakan bahasa daerah, tetapi bila ada anaknya mereka menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa yang digunakan kedua orang tua mereka. Jadi penggunaan istilah bahasa pertama akan lebih tepat dari pada pengguaan bahasa ibu. Anak anak yang masih dalam masa kritisnya memang mudah untuk belajar bahasa. Contohnya seorang anak balita yang awalnya hidup di Indonesia dengan menggunakan bahasa ibu bahasa Indonesia, kemudian balita itu pindah tempat tinggal di Amerika yang berbahasa dengan bahasa inggris. Maka si anak itu dalam waktu singkat akan lupa dengan bahasa yang pertama diperoleh si anak itu, dan hanya bisa berbahasa inggris.
Istilah pembelajaran bahasa digunakan untuk mengacu pada penguasaan bahasa kedua, baik digunakan secara formal di dalam pendidikan formal, maupun secara informal didalam masyarakat sekitar kehudupan si pembelajar. Namun tampaknya pembelajaran bahasa ini lebih mengacu pada pendidikan formal.


1)      Dua Tipe Pembelajaran Bahasa Ellis (1986 : 215)
Yaitu : tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas.
Yang pertama tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Seorang kanak-kanak yang di dalam lingkungan keluarganya menggunakan B1, misalnya bahasa X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman-teman lain yang berbahasa lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahasa Y.
                        Tipe kedua yang bersifat formal berlangsung didalam kelas dengan adanya guru dan materi, dan alat-alat bantu yang sudah dipersiapkan. Hasil yang diperoleh secara formal di dalam kelas hasilnya lebih baik dari pada yang naturalistik

2)      Sejarah Pembelajaran Bahasa
                        Kapan dimulai adaya pembelajaran bahasa tidak dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas adanya pembelajaran bahasa ini adalah sejak adanya interaksi antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki bahasa yang berbeda. Anggota sosial dari masyarakat yang satu tentu akan mempelajari bahasa dari masyarakat yang lain agar dapat berinteraksi dengan anggota masyarakat lain itu. Kemudian karena disadari suatu bahasa lain diperlukan bukan hanya untuk sekadar berinteraksi melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain seperti mempelajari ilmu, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan yang juga menyajikan pembelajaran bahasa kedua.

3)      Hipotesis-Hipotesis Pembelajaran Bahasa
a. Hipotesis Kesamaan Antara B1 dan B2
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. Kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahan, seperti modus interogasi, negasi, dan morfem-morfem gramatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa diperoleh dengan urutan-urutan yang diramalkan.



b. Hipotesis Kontrasif
Hipotesis ini dikembangkan oleh Charles Fries (1945) dan Robert Lado (1957). Hipotesis ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena adanya perbedaan antara B1 dan B2. Sedangkan kemudahan dalam belajar B2 disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya perbedaan antara B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan menimbulkan kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara B1 dan B2 akan menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2.

c. Hipotesis Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Krashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling berkaitan. Kesembilan hipotesis itu adalah : (1) hipotesis perbedaan antara pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning), (2) hipotesis urutan alamiah, (3) hipotesis monitor, (4) hipotesis masukan, (5) hipotesis afektif, (6) hipotesis bakat, (7) hipotesis filter, (8) hipotesis bahasa pertama, dan (9) hipotesis variasi individual dalam penggunaan monitor.
·         Hipotesis Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis ini dalam penguasaan suatu bahasa perlu dibedakan adanya pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning).
·         Hipotesis Urutan Alamiah
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses pemerolehan bahasa kanak-kanak memperoleh unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan.
·         Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor ini meyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan bahasa.
·         Hipotesis Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melalui masukan (input) yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk.
·         Hipotesis Afektif (Sikap)
Hipotesis ini menyatakan bahwa orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan orang dengan kepribadian dan sikap yang lain.
·         Hipotesis Pembawaan (Bakat)
Hipotesis ini menyatakan bahwa bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua.
·         Hipotesis Filter Afektif
Hipotesis ini menyatakan bahwa sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehingga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh bahasa kedua.
·         Hipotesis Bahasa Pertama
Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua  belum tampak.
·         Hipotesis Variasi Individual Penggunaan Monitor
Hipotesis ini, yang berkaitan dengan hipotesis ketiga (hipotesis monitor), menyatakan bahwa cara seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi.

d. Hipotesis Bahasa – Antara
Bahasa antara (interlanguage) adalah bahasa/ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahasa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Tampaknya semacam perpindahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua.
Bahasa antara ini merupakan produk dari strategi seseorang dalam belajar bahasa kedua. Artinya, bahasa ini merupakan kumpulan atau akumulasi yang terus-menerus dari suatu proses pembentukan penguasaan bahasa.

e. Hipotesis Pijinisasi
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara terbentuk juga yang disebut bahasa pijin (pidgin), yakni sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada di dalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing-masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli (Chaer dan Agustina, 1995).

4)      Faktor-faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
Melihat berbagai hipotesis yang dikemukakan pada Bab 14.3, tampaknya pembelajaran bahasa kedua merupakan hal atau proses yang cukup rumit. Berbagai faktor, variabel, dan kendala menentukan berhasil tidaknya pembelajaran bahasa kedua itu. Dalam subbab berikut akan dibicarakan beberapa faktor yang banyak dibicarakan orang karena berkaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua itu.
a.       Faktor Motivasi
Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi itu. Lambert dan Gardner (1972), Brown (1980), dan Ellis (1986), juga mendukung pernyataan bahwa belajar bahasa akan lebih berhasil bila dalam diri pembelajar ada motivasi tertentu itu.
b.      Faktor Usia
Ada anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa (Bambang Djunaidi, 1990).
c.       Faktor Penyajian Formal
Pada subbab 14.1 sudah disebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa kedua yaitu naturalistik dan tipe formal. Tipe pertama, yaitu tipe naturalistik brelangsung secara alamiah dalam lingkungna keluarga (tempat tinggal) sehari-hari tanpa guru dan tanpa kesengajaan.
·         Pengaruh terhadap kompetensi
·         Pengaruh terhadap kualitas performansi
·         Pengaruh terhadap urutan pemerolehan
·         Pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan
d.      Faktor Bahasa Pertama
Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang pertama diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajaran. Malah bahasa pertama dianggap pengganggu didalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini karena biasa terjadi seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsure bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah interferensi, alih kode, campur kode.

e.       Faktor Lingkungan
Dulay (1985: 14) menerangkan bahwa kwalitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua)
Lingkungan bahasa ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
• Pengaruh lingkungan formal
Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan dalam pembelajaran bahasa yang memfokuskan penguasaan kaidah kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar.
• Pengaruh lingkungan Informal
Lingkungan informal bersifat alami atau natural, tidak dibuat buat. Seperti bahasa yang digunakan pada teman teman sebaya, bahasa pada orang tua, yang digunakan dalam lingkungan masyarakat, dll.
5)      Transfer dan Interferensi
Pada subbab 14.4.d telah disinggung bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama “dapat mengganggu” penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan penggunaan bahasa kedua. Penggunaan atau pentransferan unsure-unsur bahasa pertama ini lama kelamaan akan berkurang, dan mungkin juga menghilang, sejalan dengan taraf kemampuan terhadap bahasa kedua itu.

C.     Aspek Perkembangan Pemerolehan Bahasa
            Semua anak menangis ketika lahir kecuali anak yang bisu sejak lahir. Tangisan anak dianggap sebagai bagian awal perkembangan bahasa karena tangisan memiliki makna, merupakan komunikasi yang bersifat instingtif yang berfungsi sebagai panggilan atau pemberitahuan.
            Tahap kedua dari perkembangan adalah mendengkur. Muncul rata-rata pada usia 6 minggu.diduga kegiatan ini melatih piranti alat ucap bayi.
            Pada akhir bulan kedua, bayi mulai tertawa dan membuat bunyi lembut berupa tanggapan (o..o..). Tanggapan ini merupakan permulaan dari pola giliran berbicara.
            Pada usia 5-6 bulan bayi mulai memasuki tahapan ketiga yaitu meraban. Fase yang disebut babbling atau ngoceh ini dimulai dengan pelafalan bunyi vokoid, lalu vokoid dan kontoid secara serentak. Ditemukan juga fase glottal pada awal fase ini. Meraban berwujud pengulangan-pengulangan. Meraban belum dapat dimaknai seperti kata orang dewasa. Meraban adalah fase latihan organ bicara. Meraban bagi anak dapat dipahami sebagai eksperimen dengan menggunakan mulut dan lidah.
            Pada usia 9-12 bulan mengalami peningkatan. Kegiatan ini menurun setelah bayi menghasilkan kata pertama pada usia sekitar 1 tahun setelah bayi menghasilkan kata-kata pertamanya. Banyak anak kecil yang tetap mengoceh bila berbicara dengan orang tuanya atau berbicara dengan mainan lain.
            Pada usia 10 bulan, bayi secara komprehensi dapat memahami perintah yang disertai intonasi yang jelas dan gesture. Misal, saat ditanya “mana giginya sayang?’ akan ditanggapi anak dengan menunjuk giginya.           Mulai tahun pertama hingga 14 bulan, anak akan menemukan bahwa kata-kata merujuk sesuatu. Kata “papa” misalnya merujuk pada laki-laki tertentu yang menjadi ayahnya.
            Mulai satu tahun anak pada umumnya telah memperoleh beberapa kata. Ada yang 25 kata sampai 40 kata. Pada usia ini anak mengujarkan benda-benda yang ada di sekelilingnya.
            Pada usia antara 1,6 hingga 2 tahun, anak telah mengakuisi sekitar 50 kata. Anak-anak pada usia itu mulai menggabungkan dua kata menjadi satu kalimat. Tuturan dua kata disinyalir merupakan bentuk singkat kalimat orang dewasa. Bentuk terdiri dari nomina +verba dan atau kata sifat. Tuturan ini disebut kalimat telegrafik, karena bentuknya mirip sebuah telegram, yang hanya terdiri dari kata penting dengan penghilangan kata depan dan kata sambung.
            Setelah usia 2 tahun, anak-anak menghasilkan kalimat dengan kata depan an kata sifat. Kata bentukan akibat proses morfologis juga mulai digunakan..
            Anak-anak penutur bahasa inggris membuat struktur –ing sebelum menyelibkannya dengan kata kerja bantu. Anak-anak akan menyusun kalimat “I going school” sebelum dapat embuat kalimat yang benar, “I am going to school”.
            Menjelang usia 3 tahun, anak mulai menciptakan kalimat yang kompleks. Menurut Mussen, pada usia ini anak sudah membentuk kalimat majemuk dengan penghubung dan dan kaliat subordinatif. Misal, dia nabrak dan sepedanya jatuh.
            Anak usia 3 tahun sudah mengunakan kata sambung, seperti karena, kemudian, lalu, terus, makanya, dan, tetap, yang, kalau, nanti.
            Pada usia 3,6 anak membentuk konstruksi gramatikal secara lebih jelas bahkan bagi orang yang abru dikenal. Konstruksi kalimat memang kurang bervariasi jika dibandingkan orang dewasa. Meskipun demikian, anak sudah mampu berbicara secara baik untuk berbagai topic.
            Pada usia 5 tahun anak sudah cukup mahir membuat kalimat kompleks. Mereka dapat embuat berbagai kalimat dengan menggunakan kata deiktik sekalipun, seperti aku-kamu, sana-sini, kanan-kiri, dan sebagainya.
            Anak mencapai perkembagan bahasa yang matang setelah mecapai usia 11 tahun. Pada usia tersebut anak mampu menghasilkan tuturan yang setara dengan tuturan orang dewasa, termasuk dalam kalimat perintah yang dianggap sopan. Misal “mari, silahkan masuk pak”
            Usia 11 tahun dianggap sebagai usia matang berbahasa. Perkembangan bahasa anak dianggap sudah lengkap. Kemampuan tata bahasanya sudah tidak banyak mengalami perkembangan. Para ahli mengatakan bahwa pada setelah usia 11 tahun, anak telah melewati periode kritis untuk memperoleh bahasa.






BAB III
KESIMPULAN
Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain. anak dimanapun juga memperoleh bahasa ibunya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia memahami aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil. Pertanyaan mengapa pemerolehan bahasa pada umur dewasa memunculkan wujud bahasa yang berbeda daripada pemerolehan sejak anak masih kecil berkaitan erat dengan struktur serta organisasi otak manusia.
Waterson (1970) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah satu proses sosial sehingga kajiannya lebih tepat dilakukan di rumah dalam konteks sosial yang sebenarnya daripada pengkajian data-data eksperimen, lebih-lebih untuk mengetahui pemerolehan fonologi. Menurut Waterson (1976) pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantic dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.
Pembelajaran bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Untuk masalah yang dibicarakan ini ada pakar yang menyebut dengan istilah pembelajaran bahasa (language learning) dan ada pula yang menyebut pemerolehan bahasa (language acquisition) kedua. Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan dengan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara ilmiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan keluarga pengasuh kanak kanak itu. Usia 11 tahun dianggap sebagai usia matang berbahasa. Perkembangan bahasa anak dianggap sudah lengkap. Kemampuan tata bahasanya sudah tidak banyak mengalami perkembangan. Para ahli mengatakan bahwa pada setelah usia 11 tahun, anak telah melewati periode kritis untuk memperoleh bahasa.



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik “Kajian Teoretik”. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik “Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Musfiroh, Takdiroatun. 2002. Pengantar Psikolinguistik. Yogyakarta: UNY